Sabtu, 05 April 2014

Senja di Sudut Jakarta (Ingin Aku bilang “Cinta”) BAB 5


Masa SMA sudah berakhir, liburan pun datang dan kami bersiap untuk menjadi pribadi yang mandiri, begitulah kata orang mengenai dunia perkuliahan.

Hari itu kami harus mengurus ijazah dan surat lainnya, dan malam sebelumnya aku sms Nudi, karena aku ingin pulang bareng dengannya, dan ia pun mengiyakan ajakan ku. Tapi setelah selesai mengurus surat-surat tersebut aku tak melihat keberadaannya, aku sms dan telpon pun handphonenya tak ada nada sambung. Mungkin handphonenya mati dan tak lama lagi ia datang karena setahu ku ia adalah tipe orang yang menepati janji. Niatnya hari itu aku akan mengutarakan apa yang ada di hatiku selama ini, tapiiii...

Sudah hampir 2 jam aku menunggu di depan pintu gerbang sekolah, dan suasana sekolah pun telah sepi karena memang sudah sore. Rintikan hujan menambah penderitaan karena aku tak bawa payung dan bus yang sering aku tunggu mendadak tak ada, seperti di film-film. Saat hujan menjadi deras, saat itu pula aku menangis karena takut dan kecewa. Betapa bodohnya aku menunggu orang yang belum tentu menganggap keberadaanku. Betapa bodohnya aku menyukai orang yang belum tentu menyukaiku, tapi apa salah kalau perasaan itu tiba-tiba muncul? Toh aku tidak memintanya, ia datang begitu saja dan entah kapan akan perginya. Sore yang aku bayangkan akan indah karena aku bisa mempunyai waktu lebih dengan Nudi dan mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya, ternyata menjadi sore yang menyedihkan (T.T). saat tangisan itu tak mulai berhenti, tiba-tiba ada yang menghampiriku dann berucap

“Cha, maafin aku. Hpku mati, tadi aku dipaksa sama temen-temen. Dan aku baru tahu kalau kamu masih disini setelah aku cash hpnya. Kenapa kamu enggak pulang?”
“iya ini aku mau pulang” jawabku sambil terus menunduk karena tak mau melihat wajah nudi.
“ Chaaa, kamu baik-baik aja kan?” aku hanya terdiam
“Chaa, chaaaa, ochaaaa” tiba-tiba aku menutup wajahku dengan kedua tangan lalu menangis. Kata orang aku cengeng dan gampang galau.
“ chaa, kamu nangis? Maafin aku yahhh” nudi pun memelukku tapi aku tetap terus menangis, malah tangisan itu semakin kencang, sekencang hujan saat itu.
“aku janji ini yang terakhir, aku enggak akan lakuin hal ini lagi ke kamu” setelah berucap kalimat itu Nudi mencium kening ku, tapi aku tak sadar karena sibuk menangis dan kecupan itu hanya beberapa detik saja.  Setelah Nudi berhasil membuat ku tenang dan hujan berhenti kami pulang bersama. Tak banyak kata yang terucap sore itu. Saat sampai rumah pun aku langsung masuk tanpa berucap basa-basi seperti biasanya. Dan aku mulai bertanya..

Seperti angin yang terus berlalu tanpa henti
Seperti api yang terus berkobar dihati
Seperti air yang terus membasahi dedaunan di pagi hari
Dan seperti itu pula aku yang akan terus menunggu
Menunggu senja hanya untuk melihat sebuah kebahagiaan
Yang entah kapan akan datang menghampiri
Tapiii..
Sampai kapan harus seperti angin?
Sampai kapan harus seperti api atau air?
Sampai kapan aku harus menunggu ?
Akankah penantian ini berakhir pada sebuah kebahagiaan?

Entahlahhhhh… 

0 komentar:

Posting Komentar